Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Cerpen #3 Lala & Lala

Gambar
Seorang gadis kecil berlesung pipit sedang menatap jalanan di luar lewat jendela kayu yang terbuka lebar, hujan turun membasahi bumi malam itu dengan amat lebat. Kilat sibuk memotret bumi dari atas sana dengan cahayanya yang diikuti suara guntur yang saling bersahutan.  Ia tetap tegak di jendela kayu tanpa rasa takut terhadap suara guntur yang menggelegar, tangan kirinya menggenggam sebuah buku bersampul hijau yang amat berharga baginya sekarang. Di sampul buku itu terdapat tulisan “Kado untuk Lala”, dari tadi dia menunggu orang yang membuat tulisan itu, orang yang selalu memberikannya kado sebelum tiga hari peringatan ulang tahunnya.  Malam merambat amat cepat, gelap menelan terang dengan anggun. Seorang perempuan paruh baya menghampiri gadis kecil yang dari tadi tak bisa dibujuk untuk meninggalkan tempat itu.  “Nak, ayo tidur, kamu harus istirahat,” ajaknya lembut seraya mengelus rambut ikal sebahu anak itu. Gadis kecil menepis tangan ramah wanita paruh baya itu, sambil b

Senandika #5 Menyesap Rindu

Gambar
PoV Puan Semenjak kepergianmu, aku jadi terbiasa menjamu rindu di meja pagi. Sendirian. Menyesap rindu diam-diam.  Ada banyak cerita yang ingin kujamu di meja pagi jika seandainya kamu masih berada di sini, di sisiku. Cerita tentang aku yang berusaha dengan tabah melewati hari dengan tunggu meski tahu kamu tidak akan pernah lagi melangkah pulang untuk menemuiku. Meski tahu bahwa kamu tidak akan pernah lagi datang walau hanya sekadar bayang.  Namun, dengan teguh, aku rela berlama-lama memandang ke luar jendela. Berharap ada kamu yang melangkah dari halaman rumah sehabis bekerja.  Aku dengan sungguh masih saja memasang telinga tajam-tajam. Menempelkan seiris demi seiris pendengaranku di tiap-tiap dinding rumah, di tiap-tiap perabotan dan semua benda yang ada di sekelilingku, berharap bisa mendengar suaramu meski hanya sekadar mengucapkan satu kata. Meski kamu hanya mampu bersuara dengan lemah dan sayup. Sejak kamu pergi, aku seakan-akan kehilangan arah. Bingung untuk me

Senandika #4 Kita sedang (tidak) Bertemu

Gambar
PoV Tuan Sudah hampir satu jam kita duduk saling berseberangan. Aku sudah memesan makanan dan minuman untuk kita sebelum kamu datang. Aku sengaja datang lebih awal dari waktu yang telah kita tentukan. Lucunya, aku memesan makanan dan minuman dengan senyum yang tak henti-henti membias di wajah.  Aku membayangkan apakah seleramu masih sama seperti lima tahun yang lalu atau sudah berubah karena lidahmu sudah terbiasa dengan makanan Eropa. Aku sibuk membayangkan reaksimu nanti saat pertama kalinya melihatku. Berteriak kegirangan. Lalu, mencecarku dengan banyak pertanyaan tentang apa saja yang sudah terjadi pada diriku dalam lima tahun ini. Kamu periang.  Kamu bukan wanita yang menunggu seseorang untuk menanyakan kabarmu terlebih dahulu. Kamu spontan. Reaksi itu yang tertanam di pikiranku karena kita sudah sekian lama tidak bertemu. Lalu, bagaimana seharusnya aku saat melihatmu nanti? Apakah aku harus berteriak kegirangan juga, atau aku harus terpana karena melihat perubahan

Cerpen #2 Awan

Gambar
Nun jauh di sana, di pinggir hutan terdapatlah perkampungan yang amat sederhana. Rumah penduduk dibangun dari potongan bambu dan beratap rumbia. Kebutuhan pangan selalu terpenuhi di perkampungan itu, tanah yang amat subur selalu memberikan hasil panen terbaik setiap tahunnya. Para penduduk perkampungan itu adalah orang-orang yang selalu melewati hari dengan gembira, canda tawa selalu terdengar di mana-mana. Kalau kau berada di sana, kau akan merasa bahwa hidup hanyalah terdiri dari kegembiraan. Namun sebenarnya, di dalam sikap-sikap ramah itu, di balik kegembiraan dan canda tawa itu, mereka memiliki satu cacat dalam diri mereka masing-masing. Cacat yang entah bagai mana tumbuh di tengah-tengah canda tawa. Cacat yang kadang tersisip dalam tegur sapa. Cacat yang selalu mengikuti dalam segala aktivitas perkampungan itu.  Mereka, membenci seseorang. Mereka, mengucilkan seseorang. Namanya Awan, umurnya sembilan. Dia tinggal di rumah bambu yang terletak paling ujung. Awan tida

Untuk Puan

Gambar
Akhirnya puan, telah sampailah kita di penghujung jalan itu. Tempat kita pernah menyerakkan beribu-ribu kenangan.  Tempat bermunculan satu persatu kenangan bahagia yang akhirnya harus tenggelam dalam perpisahan.  Benar,  puan,  seperti lelucon yang pernah kita tertawakan dahulu bahwa mustahil kita saling tega menebalkan dinding pisah dan berbalik melangkah menjauhi segala cerita. Benar, puan, seperti yang pernah berbisik riuh di telinga, mustahil sebuah hubungan tak berkawan dengan prasangka. Puan, pada akhir perjalanan yang kita tapak bersama, betapa menyesakkan melihat dan mendengar potongan cerita kita di sepanjang jalan ini, sebelum akhirnya berhenti dengan sesenggukan yang tak lagi kita sesap bersama. Selamat berpisah, puan, semoga tak ada lagi sedih menggelayut hari-harimu kelak, pun duka di hari esok biar ku menanggung segala-galanya. Gambar: Pixabay.com

Senandika #3 Ego

PoV Tuan Kita adalah dua orang yang pernah memaksa untuk menapaki jalan yang sama, padahal kita masing-masing sadar bahwa kita memiliki banyak perbedaan yang tidak mungkin bisa disatukan. Kamu memintaku untuk meniti hari dengan caramu sendiri. Aku mencintaimu, jadi kulakukan saja seperti maumu karena aku pikir seiring berjalannya waktu, kamu akan berubah, kamu akan mendengarkanku suatu saat nanti.  Aku mencintaimu dengan sungguh dan barangkali selama ini kamu tak pernah sungguh-sungguh mencintaiku. Barangkali, kata-kata cinta yang kamu agung-agungkan hanyalah topeng dari egomu sendiri. Kamu merasa, seseorang yang mencintaimu adalah milikmu seutuhnya. Orang itu harus mendengarkan dan melakukan segala perkataanmu hanya karena dia mencintaimu. Barangkali kamu lupa, dia juga memiliki bagian hidupnya yang harus dihabiskan dengan orang-orang yang dia sayang.  Orang yang dia cintai dan dia sayangi bukan kamu sendiri saja. Dia memang mencintaimu dengan sangat, tetapi ada beberapa orang y

Senandika #2 Sembunyi Tetes

PoV Puan Kamu adalah kenangan yang ingin kubunuh secara paksa dari ingatan, namun hati selalu tak ingin melakukannya. Sampai sekarang, aku belum terbiasa melewati hari tanpa mendengar suaramu, tanpa melihat wajahmu, tanpa merasakan genggamanmu. Namun, semua itu tidak tak akan pernah terjadi lagi, bukan?  Aku membiarkan hatiku yang telah berdarah untuk selalu mengingatmu, di saat yang sama aku menjahitnya kembali dengan hal-hal baru meski tahu benang yang kurajut kembali terburai setiap kali kenangan bersamamu diam-diam menyusup ke dalam ruang hati.  Hidup yang kujalani tak lagi indah, karena dari titik manapun aku memandang, semua yang kulihat adalah kamu. Tidak mudah untuk membiasakan hidup tanpa kamu, namun lambat laun aku pasti akan terbiasa. Aku berusaha melupakanmu dengan berbagai cara. Lembaran-lembaran hari yang kusam kutulis dengan hal-hal baru.  Barangkali rasa sakit bisa sedikit dilupa dengan melarutkan diri dalam berbagai kesibukan. Namun, kenangan bersamamu menjelma r

Senandika #1 (Bukan) Genggam

PoV: Puan Bagaimana bisa napas yang kuhela sekarang menjadi sangat menyesakkan. Pemandangan kota yang biasanya menjadi tempat menjamu rindu, kini menjadi amat mengganggu. Aku masih ingat ketika untuk pertama kalinya kamu menaruhkan telapak tanganmu yang hangat di punggung tanganku yang tiba-tiba saja dingin membeku. Aku masih ingat ketika matamu yang menatap mataku menjelma cahaya matahari di pagi hari. Hangat.  Aku masih ingat bagaimana susah payahnya mengatur degup jantungku yang seolah-olah akan meledak. Aku masih ingat bagaimana kita berdua meniti hari dengan banyak kisah bahagia. Aku juga masih ingat betapa beraninya aku memberikan genggamanku kepadamu, sesuatu yang belum pernah aku percayakan kepada siapapun. Karena kamu berbeda waktu itu. Aku masih ingat, dahulu, saat kamu masih di sini, aku seperti mendapat seseorang yang paling mengerti bagaimana diriku. Kamu amat berbeda waktu itu, entah bagaimana kehadiranmu sempat mengundang banyak canda dan tawa. Hari-hariku begitu dip

Puisi #2 Pria Alamanda

Gambar
Bayu mendesir malu-malu, menjinjit tapak agar kedatangannya tak mengusik kemesraan dahan dan dedaunan yang saling menggenggam dalam lelap. Ia gelitik pelepah-pelepah kelapa yang enggan membuka mata dan lantunkan selamat pagi pada embun yang diam-diam merangkak pulang meninggalkan rerumputan yang asyik bersenda gurau dengan mimpi. Ia sapa para alamanda yang menguntum anggun di dalam sejuknya selimut pagi. Pria tua datang menghela langkah-langkah timpang, ia gulung selimut pagi dan bangunkan mentari yang berselubung nyaman  di balik bentangan awan. Si bayu menjeling cemburu, pria tua bercengkerama dengan alamanda yang merona malu.  Dia merangkai aksara rindu untuk perempuan yang telah beranjak sejak lama, mengukir sepotong senyum yang tak dapat lagi membingkai indah di sudut mata. Pada kelopak-kelopak kuning nan memesona, ia bujuk para bulir yang bertengger anggun di rapuhnya punggung si kembang agar sudi menemani hingga si bunga menguntum indah dan semesta melirik jengah. Ia

Cerpen #1 Paket Air Mata

Gambar
Aku membantunya mengepak barang-barangnya yang lumayan banyak. Sebentar lagi ia akan angkat kaki dari kontrakan yang telah menampungnya selama dua tahun ini. Dia akan meninggalkan kota ini. "Apakah sudah dikemas semua barang-barangmu? Apa masih ada yang tertinggal?" " Nggak , sudah semuanya. Kita benar-benar pisah, dong ," katanya cemberut. "Kenapa? Kamu bingung nggak  akan ada orang yang mau dengar curhat kamu lagi?" Kataku sambil memasukkan satu persatu kotak barangnya ke dalam mobil. Lama dia terdiam, entah memikirkan apa. Mungkin memikirkan Toni, pacar terbarunya itu. "Nanti bagaimana kalau saya mau curhat sama kamu?" "Pakai telepati saja." "Kamu kenapa nggak punya hape , sih ? Apa perlu saya belikan sepuluh untuk kamu?" Aku mengangkat pundakku, membiarkan dia mencari jawabannya sendiri. " Sok sok an mau membelikanku sepuluh hape , memangnya kamu bisa?" "Kamu pun bisa saya beli kalau

Puisi#1 Risau

Gambar
Kali ini, kekasih, mata kian memedas saat risau bergejolak di dalam benak. Tunggu menunggu tak terbilang di muka pintu, resah kian menggelegak dengan riuh. Rasanya seperti hilang ingin menjadi sahabat karib dalam rentang yang lama, menculik bahagia yang terjalin sebentar tanpa perasaan. Kekasih, di wajahmu pernah membayang sepi yang teramat takut untuk ditinggali, kemudian lenyap berganti nelangsa yang teramat menyekap. Rasanya aku telah mengecap kehilangan saat kau masih di sisi mengalungkan cerita-cerita bahagia di leher kita berdua. Risau, pergilah menjauh, kekasihku akan datang dengan senyum dan seri, sekali lagi. Meski tak pernah ku tahu kapan ia akan kembali.