Puisi #2 Pria Alamanda

Bayu mendesir malu-malu, menjinjit tapak agar kedatangannya tak mengusik kemesraan dahan dan dedaunan yang saling menggenggam dalam lelap. Ia gelitik pelepah-pelepah kelapa yang enggan membuka mata dan lantunkan selamat pagi pada embun yang diam-diam merangkak pulang meninggalkan rerumputan yang asyik bersenda gurau dengan mimpi. Ia sapa para alamanda yang menguntum anggun di dalam sejuknya selimut pagi.

Pria tua datang menghela langkah-langkah timpang, ia gulung selimut pagi dan bangunkan mentari yang berselubung nyaman  di balik bentangan awan. Si bayu menjeling cemburu, pria tua bercengkerama dengan alamanda yang merona malu. 

Dia merangkai aksara rindu untuk perempuan yang telah beranjak sejak lama, mengukir sepotong senyum yang tak dapat lagi membingkai indah di sudut mata.

Pada kelopak-kelopak kuning nan memesona, ia bujuk para bulir yang bertengger anggun di rapuhnya punggung si kembang agar sudi menemani hingga si bunga menguntum indah dan semesta melirik jengah. Ia titipkan kisah-kisah cintanya lewat bentala yang khusyuk berkisah pada sang akar agar  tetap mengharum di kuntum-kuntum alamanda kelak, meskipun ia telah lama tergeletak.

Kepada sang perempuan, ia rajut benang-benang harap. Saat perjumpaan tiba, ia akan datang dengan sekuntum alamanda dan satu peluk hangat yang telah lama merindui sua. 

Kisah-kisah haru menyerbak dari kelopak-kelopak kuning perihal perempuan yang tak bisa menunggu sang pria alamanda lebih lama. Bersama si anak, ia melangkah dijemput Sang Kuasa.

Tebing Tinggi, 2018

(gambar: pixabay.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandika #1 (Bukan) Genggam

Senandika #2 Sembunyi Tetes

Aku Ada