Cerpen #3 Lala & Lala


Seorang gadis kecil berlesung pipit sedang menatap jalanan di luar lewat jendela kayu yang terbuka lebar, hujan turun membasahi bumi malam itu dengan amat lebat. Kilat sibuk memotret bumi dari atas sana dengan cahayanya yang diikuti suara guntur yang saling bersahutan. 

Ia tetap tegak di jendela kayu tanpa rasa takut terhadap suara guntur yang menggelegar, tangan kirinya menggenggam sebuah buku bersampul hijau yang amat berharga baginya sekarang. Di sampul buku itu terdapat tulisan “Kado untuk Lala”, dari tadi dia menunggu orang yang membuat tulisan itu, orang yang selalu memberikannya kado sebelum tiga hari peringatan ulang tahunnya. 

Malam merambat amat cepat, gelap menelan terang dengan anggun. Seorang perempuan paruh baya menghampiri gadis kecil yang dari tadi tak bisa dibujuk untuk meninggalkan tempat itu. 

“Nak, ayo tidur, kamu harus istirahat,” ajaknya lembut seraya mengelus rambut ikal sebahu anak itu. Gadis kecil menepis tangan ramah wanita paruh baya itu, sambil berkata ketus.

“Lala nunggu ibu, ibu pasti datang bentar lagi.” 

Ia sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari luar. 

Perempuan paruh baya itu menghela napas, bingung harus menjelaskan apa kepada si gadis kecil yang sebentar lagi akan berumur enam tahun. Dia melangkah ke arah sofa yang terdapat tak jauh dari jendela kayu, bertekad untuk tetap menunggu gadis kecil yang malang itu. 

“Ibu.. Lala bentar lagi enam tahun.. Ibu di mana..?” Gadis kecil itu berujar lirih sambil menghitung umurnya dengan jemari tangannya yang kecil. Ia mengangkat buku hijau itu, buku dongeng bergambar indah. 

Hatinya mengangguk yakin bahwa ibunya akan datang malam ini, ibunya akan mendongeng untuk dia. Ia membuka lembar demi lembar buku itu, terdapat gambar tiga kurcaci, gambar kuda pegasus yang amat indah dengan sayapnya yang membentang di langit. Dia berdecak kagum, menebak-nebak dongeng yang amat indah yang akan dibacakan oleh ibunya dari buku tersebut. 

Waktu merambat cepat malam itu, ia masih asyik membolak-balik buku hijau itu sampai lupa bahwa ibunya tak pernah datang, bahwa sebentar lagi umur enam datang menghampirinya. Pada lembar terakhir, terdapat tulisan ibunya yang ia eja patah-patah sebab ia belum pandai benar membaca.

“Es-ese-el-ala-em-ama-t. se-la-mat….”

“U-el-ala-eng. Ulang. Te-ata-ha-uhu-n. Ta-hun….”

“El-ala-el-ala. Lala.”

“Selamat ulang tahun, Lala.” 

Senyap tiba-tiba berkumandang di sana, suara hujan yang menderu seakan membeku di gelap malam itu. Guntur seolah-olah tak pernah menggelegar memekakkan telinga. Hening. Senyap. Waktu seolah lupa berjalan. Bahkan desau angin pun seakan lupa untuk bercengkerama dengan malam. 

Gadis kecil itu terpana menyaksikan keanehan itu. Di tengah-tengah keterpanaannya, muncul sosok perempuan muda mengenakan gaun hijau yang amat indah yang menjelma dari tulisan ibunya di lembaran terakhir buku hijau itu.

“Selamat ulang tahun, Lala.” 

Perempuan itu mengelus rambut ikal sebahu gadis kecil yang bahkan tak dapat berkata-kata itu. Ia terlalu terpana menyaksikan keadaan ajaib yang tiba-tiba terjadi di depan matanya sendiri. 

“Tan.. Tante siapa?” Tanya gadis kecil itu setelah susah payah untuk mengatupkan mulutnya yang membuka lebar.

Perempuan bergaun biru itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya, berusaha untuk tidak tertawa meskipun akhirnya dia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum geli.

“Jangan panggil aku tante,” jawabnya sambil mencubit pipi gadis kecil itu.

“Aku baru dua puluh enam, dan rasanya lucu saja dipanggil tante oleh diriku sendiri.” Perempuan bergaun biru itu kembali mengelus rambut gadis kecil itu yang menatap tidak mengerti.

“Panggil saja aku kakak, bukankah aku yang lebih tua sekarang?” Perempuan bergaun hijau itu tersenyum, membuat lesung pipitnya tergambar manis di pipinya.

“Aku telah berjanji pada seseorang, aku akan merayakan ulang tahunmu yang keenam tahun ini.” 

Perempuan itu memegang lengan Lala lalu menjentikkan jemarinya di gaun hijaunya. Cahaya hijau keluar dari gaun itu sedikit demi sedikit, menggumpal semakin besar sampai ruangan itu diselimuti oleh cahaya hijau tersebut. 

Perempuan bergaun hijau itu dan Lala berada di dalam cahaya hijau itu sekarang. Perempuan itu menggores-goreskan telunjuknya pada cahaya hijau tersebut, membuat garis-garis berbentuk pintu lalu menjentikkan jemarinya ke arah goresan pintu itu. Tiba-tiba goresan pintu itu membuka pelan.

“Ayo,” ajak perempuan itu sambil menarik tangan Lala yang masih terbengong-bengong kebingungan. 

Mereka memasuki pintu itu dan lenyap bersamaan lenyapnya cahaya hijau yang sempat memenuhi ruangan itu. Jarum jam kembali berputar seperti biasanya. Suara tetes hujan yang mencurah turun kembali terdengar bersamaan dengan kilat yang menyilaukan mata diikuti gelegar guntur yang memekakkan telinga. Perempuan paruh baya itu terbangun dari tidurnya di sofa itu. Pandang matanya menuju ke arah jendela kayu yang masih terbuka lebar itu, lalu berseru tertahan menyadari sesuatu.

Rasanya sangat aneh sekali perjalanan ini, seperti disedot oleh selang raksasa, tetapi kenapa sedikit menyenangkan? Lala beberapa kali ingin melontarkan pertanyaan kepada perempuan bergaun hijau itu, tetapi mulutnya selalu saja terkatup karena kebingungan terhadap kejadian ajaib yang dialaminya sekarang. Perempuan itu kembali menjentikkan jarinya ke arah gaun hijaunya, tiba-tiba saja sensasi seperti tersedot itu hilang. 

Mereka berada di ruangan yang luas sekarang. Ruangan itu dipenuhi banyak anak kecil berpakaian biru, hiasan pita warna-warni dengan balon-balon lucu yang menggantung indah. Anak-anak kecil  bersileweran di ruangan itu dengan memegang masing-masing satu balon yang memiliki bentuk-bentuk yang lucu. Lala berdecak kagum, ada banyak kue yang tersaji di atas meja kaca yang besar itu. Dan di meja depan sana, terdapat kue yang amat besar yang pernah dilihat Lala dengan lilin-lilin menyala sebanyak umurnya sekarang menggantung di atas kue itu.

“Bu Guru, kenapa lama sekali?” Seorang anak laki-laki mendekati perempuan itu. perempuan itu membungkuk mengusap rambut anak itu.

“Ibu membawa seorang teman, namanya Lala.”

“Namanya sama dengan nama Bu Guru!” Anak laki-laki itu berteriak kaget.

“Dan wajahnya juga mirip!” Seru anak-anak lain mengerumuni perempuan bergaun biru yang sedang tersenyum geli itu. Lala ikut tersenyum kaku.

“Wah, sama-sama punya lesung pipit,” ujar salah satu anak perempuan.

“Apakah kamu anak Bu Guru? Tapi bukankah Bu Guru belum menikah? Atau adiknya Bu Guru?” 

Anak-anak berpakaian biru itu sibuk menerka-nerka. Perempuan itu mengalihkan pembicaraan anak-anak itu sambil tersenyum manis. 

“Ayo kita mulai perayaannya, bukankah sudah ibu bilang hari ini adalah hari ulang tahun ibu dan keponakan ibu?”

“Oh, iya pantas mirip,” celetuk salah satu anak.

Perempuan bergaun hijau itu lagi-lagi menjentikkan jemarinya di gaunnya, tiba-tiba balon-balon yang melayang serta pita-pita tersebut bergerak pelan sambil mengeluarkan nada-nada piano yang indah. Anak-anak berpakaian biru itu menyanyikan lagu perayaan ulang tahun dengan penuh semangat. 

Sebuah balon melayang turun membentuk tangan, mengambil kue ulang tahun itu dan membawakannya di hadapan Lala dan perempuan itu. Dengan anggukan kepalanya yang anggun, perempuan itu menyuruh Lala untuk meniupkan lilin-lilin itu. Tepuk tangan yang meriah memenuhi ruangan yang luas itu. 

Mereka melahap kue yang terdapat di meja besar itu, balon-balon semakin banyak memunculkan tangan untuk melayani anak-anak tersebut yang membuat Lala selalu berdecak kagum. Lala dengan amat cepat berbaur dengan anak-anak sebayanya yang berpakaian biru itu, berkejaran kesana-kemari sambil menggenggam balon merah jambu yang berbentuk hati di tangannya. 

Pita-pita yang melayang itu amat pintar sekali menghasilkan nada piano yang mengalun indah. Balon-balon lucu itu turut bermain bersama Lala beserta anak-anak lainnya. Ada yang memunculkan kepak dari tubuh mereka sehingga terbang melayang-layang dan dikejar oleh anak-anak itu, dan ada pula yang menumbuhkan kaki sehingga balon-balon itu ikut berlarian kesana-kemari. 

Perempuan bergaun hijau itu ikut bermain di tengah-tengah mereka, tertawa lepas saat melihat Lala ketakutan dikejar balon-balon itu, dan tersenyum geli melihat balon-balon itu berlari kocar-kacir saat dikejar kembali oleh anak-anak itu.

“Bagaimana, Lala, apakah perayaan ulang tahunmu kali ini menyenangkan?” 

Tanya perempuan itu sambil melihat anak-anak kecil itu satu-persatu pamit kepadanya dan memasuki pintu-pintu yang muncul secara otomatis dari dinding ruangan itu. 

Balon-balon kembali menggantung di udara dengan bentuk semula, dan pita-pita itu menghasilkan nada yang semakin lama semakin menghilang sampai akhirnya berhenti sama sekali. Ruangan itu hening sekarang. Lala mengangguk-angguk riang, perayaan kali ini malah terlalu menyenangkan. 

“Tan.. eh, Kak, sebenarnya kita sedang berada di mana?” Tanya Lala sambil mendongakkan kepalanya untuk menatap wanita itu.

“Kita berada di masa depan.” Perempuan itu tersenyum, mengelus-elus rambut ikal Lala.

“Sebenarnya, aku adalah dirimu saat berumur dua puluh enam. Aku adalah dirimu di tahun 2040,” ujarnya sambil tersenyum. 

Lala menatap perempuan itu tidak percaya.

“Semua ini pasti amat membingungkan bagimu, Lala. Amat jarang sekali ada orang yang bisa menjelajah masa lalu ataupun masa depan..”

“..maukah kau mendengarkan sedikit cerita dariku, Lala, mengapa aku bisa menemui diriku sendiri dua puluh tahun lalu..”

“..dan mengapa kau bisa menemui dirimu dua puluh tahun kemudian.”  

Lala mengangguk mengiyakan, meskipun sangat sulit untuk dicerna oleh pikiran lugu kanak-kanaknya.

“Di tahun 2040 ini, kau adalah wanita yang amat di sayangi oleh anak-anak, Lala” perempuan itu mulai berkisah.

“Kau menjadi guru yang terkenal dengan kasih sayangnya terhadap anak-anak. Kau adalah perempuan yang tak tahan melihat anak-anak menangis. Bahkan kau amat pintar sekali menenangkan bayi yang merengek di dekapan ibunya-yang tak kau kenal sama sekali.”

“Di tanganmu, anak-anak selalu bergembira, kau membuat masa kanak-kanak mereka menjadi kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan.”

“Kemudian kau membuat sebuah sekolah anak-anak, dan setiap orang tua berharap anak-anak mereka bersekolah di sekolah yang kau dirikan. Wah, kau amat terkenal sekali, sampai-sampai ada sebutan ‘Malaikat Anak-anak’ yang diberikan padamu.”

“Tiga hari sebelum ulang tahunmu yang ke dua puluh enam, para orangtua yang menyekolahkan anak mereka di sekolahmu memberikan kado yang amat indah dan menakjubkan. Dan lihatlah, gaun berwarna hijau ini adalah hadiah yang diberikan oleh mereka. Gaun yang terbuat dari teknologi mutakhir yang terdapat di zaman ini.”

“Gaun ini dapat merespon dengan cepat permintaanmu hanya dengan menjentikkan jemarimu di atas gaun ini. Saat aku mengenakan gaun ini tiba-tiba terbesit di pikiranku, aku ingin melihat masa-masa kecilku sekali lagi. Aku menjentikkan jemariku di atas gaun ini, dan tiba-tiba saja aku berada di sebuah rumah sederhana yang amat nyaman.”

“Aku melihat ibu menulis di lembaran terakhir buku bersampul hijau yang akan diberikan kepadamu sebagai kado ulang tahun. Ibu sedang mengandung adik kita saat itu, dan mungkin satu minggu kedepan akan melahirkan adik yang amat lucu.”

“Tetapi langit memiliki skenarionya sendiri, Lala. Ibu tergelincir di kamar mandi, dan kau saat itu berada di sekolah. Aku menyesal kenapa aku tidak berada di rumah saat itu. Aku terlalu cepat menjentikkan gaun ini karena terlalu takut tak bisa kembali lagi ke masa depan.”

“Saat aku kembali dua hari kemudian, rumah kita dipenuhi oleh orang-orang berkabung. Ibu dan adik tak dapat diselamatkan. Seorang ibu-ibu paruh baya bertindak cepat dengan membawamu ke rumahnya. Agar kau tak mengetahui kejadian yang amat memilukan itu.” 

Perempuan itu berhenti sejenak sambil mengelap air matanya, di sampingnya Lala menangis tersedu-sedu. Entah ia mengerti atau tidak, yang jelas ia sedang merindukan ibunya.

“Ketahuilah, Lala. Aku datang menemuimu atas permintaan ibu yang tergores di buku biru itu. Ibu berharap seseorang akan selalu datang merayakan ulang tahunmu, dan aku yang berasal dari dirimu di masa depan memutuskan untuk menjadi seseorang itu. Seseorang yang akan membuat perayaan yang indah pada setiap ulang tahunmu. Sampai kau mandiri dan bisa mengerti lebih banyak tentang kehidupan ini.”

“Saatnya pulang, Lala.” 

Perempuan itu kembali tersenyum manis, tangannya mengusap air mata Lala. Gadis kecil itu masih sesenggukan, ia menatap perempuan itu sambil mengangguk pelan. Perempuan itu kembali menjentikkan jemarinya di atas gaun hijaunya. Cahaya hijau memenuhi ruangan itu dengan cepat, perempuan itu menggoreskan ujung kuku jari telunjuknya pada cahaya hijau itu membentuk pintu kemudian menjentikkan sekali lagi jemarinya sehingga gambar pintu itu membuka.

“Aku tidak bisa mengantarkanmu pulang, Lala, karna setiap masing-masing orang dari masa depan hanya bisa kembali ke masa lalunya sebanyak tiga kali selama setahun.”

“Tahun berikutnya aku akan kembali menemuimu, membuat perayaan untuk hari ulang tahunmu. Jadilah anak yang tegar, Lala. Jadilah anak yang mandiri dan belajarlah untuk menghapus air matamu sendiri.” 

Perempuan bergaun hijau itu memeluk Lala sekali lagi, sambil berkata lirih.

“Selamat ulang tahun, Lala.”

Gadis kecil itu melangkah memasuki gambar pintu yang membuka itu, melambaikan tangannya ke arah diri masa depannya sambil mengucapkan salam perpisahan. Perempuan bergaun hijau itu membalaskan lambaian Lala sambil tersenyum manis. Pintu itu menutup dan lenyap bersamaan dengan lenyapnya cahaya hijau yang tadi memenuhi ruangan. 

Wanita itu menghela napas panjang, lalu melangkahkan kakinya ke arah pintu yang muncul tiba-tiba dari dinding ruangan, memasukinya, dan hilang bersamaan dengan hilangnya ruangan itu.

***

Langit berwarna kemerah-merahan di sore itu, semburat mentari yang tak lagi garang seperti tadi siang. Sinar kemerah-merahannya menembus rerimbunan pohon-pohon, menyapa dedaunan kuning yang jatuh berserakan di tanah merah itu. Gadis kecil itu masih terduduk di sana, di antara dua gundukan tanah merah itu. Tangan kecilnya tak henti mengelus batu nisan ibu dan ayahnya. 

“Ayah.. Ibu.. minggu lalu Lala bermimpi bertemu gadis cantik dari masa depan.”

“Dia bilang, dia adalah Lala yang berumur dua puluh enam tahun.”

“Mimpi yang amat menyenangkan.. Ibu dan Ayah jangan lupa bahagia di sana, jangan lupa tersenyum, karena Lala nggak akan pernah lupa mendoakan Ibu dan Ayah dari sini.” 

Gadis kecil itu kemudian mengelus gundukan kecil yang berada ditengah-tengah makam kedua orangtuanya.

“…dan adik jangan nakal-nakal di sana, kakak titip ayah dan ibu, ya.” Lala tersenyum, mengucapkan sampai bertemu besok sekali lagi pada makam ayah, ibu dan adiknya. 

Gadis kecil itu berdiri, lalu melangkah menuju perempuan paruh baya yang telah menunggunya di gerbang pemakaman itu dengan senyum menenangkan menghiasi wajahnya. Perempuan paruh baya itu menggandeng tangan Lala, mereka melangkahkan kaki menapaki jalan itu menuju rumah. Matahari senja sempurna tenggelam di ufuk barat, dan gelap kembali bertandang sekali lagi di kota itu dengan anggun.

***

Gambar: pixabay.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandika #2 Sembunyi Tetes