Senandika #1 (Bukan) Genggam

PoV: Puan

Bagaimana bisa napas yang kuhela sekarang menjadi sangat menyesakkan. Pemandangan kota yang biasanya menjadi tempat menjamu rindu, kini menjadi amat mengganggu. Aku masih ingat ketika untuk pertama kalinya kamu menaruhkan telapak tanganmu yang hangat di punggung tanganku yang tiba-tiba saja dingin membeku. Aku masih ingat ketika matamu yang menatap mataku menjelma cahaya matahari di pagi hari. Hangat. 

Aku masih ingat bagaimana susah payahnya mengatur degup jantungku yang seolah-olah akan meledak. Aku masih ingat bagaimana kita berdua meniti hari dengan banyak kisah bahagia. Aku juga masih ingat betapa beraninya aku memberikan genggamanku kepadamu, sesuatu yang belum pernah aku percayakan kepada siapapun. Karena kamu berbeda waktu itu.

Aku masih ingat, dahulu, saat kamu masih di sini, aku seperti mendapat seseorang yang paling mengerti bagaimana diriku. Kamu amat berbeda waktu itu, entah bagaimana kehadiranmu sempat mengundang banyak canda dan tawa. Hari-hariku begitu dipenuhi dengan banyak warna. Kebahagiaan seperti tak pernah putus, datang silih berganti. 

Kamu pernah membuatku menjadi seorang wanita yang amat berbahagia di dunia. Bahagia sekali. Sampai-sampai aku lupa bahwa bahagia selalu bersanding dengan kata duka. Lupa bahwa tak selamanya bahagia akan menyentuh hati, ada saatnya duka dan kecewa meremukkan jiwa seremuk-remuknya. Aku terlalu percaya kepadamu, karena menurutku sebuah hubungan tak seharusnya dibumbui dengan prasangka. Sudah cukup dengan saling mempercayai saja. 

Ternyata aku salah, kamu menyalahgunakan kepercayaan yang telah kuberikan.

Suatu waktu, kita pernah bercerita perihal jarak yang barangkali akan memisahkan kita suatu hari nanti. Entah karena apapun itu. Kukatakan kepadamu bila suatu saat nanti kita tak bisa lagi saling menggenggam, aku ingin kita berpisah dengan baik-baik. Kita sama-sama menertawakan kalimat yang telah kulontarkan. Bagaimana caranya berpisah dengan baik-baik, karena seharusnya jika hubungan baik-baik saja, sudah pasti tak akan pernah ada kata pisah. Dan juga tidak ada yang baik-baik saja terhadap perpisahan yang terjadi dengan seseorang yang disayang. 

Dari dalam pikiranku yang mengembara entah kemana, sering sekali membenak satu pertanyaan yang begitu mengusik, yang tentu saja tak perlu di diskusikan dengan kamu karena aku sudah terlalu mempercayaimu dengan segenap hatiku. Bagaimana jika suatu hari nanti, seseorang datang mengisi celah yang entah bagaimana terjadi di antara kita, lalu memisahkan kamu dan aku? 

Saat mengenggam tanganmu, jauh di lubuk hati, aku merapal banyak pengharapan terhadap sesuatu yang sebenarnya sangat aku takutkan. Semoga jangan ada kata pisah dalam hubungan ini karena aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku akan melewati hari-hari selanjutnya jika tanpa kamu. 

Semoga aku akan tetap menjadi kertasmu yang akan selalu kamu tuliskan dengan cerita-cerita manis karena kamu adalah satu-satunya pena yang kuperbolehkan menggoreskan aksara cinta di lembaran hariku. Semoga aku bisa mengenggam tanganmu selamanya, dan semoga-semoga yang lainnya tentang kita yang aku rapal setiap saat.

Mau tidak mau, suka tidak suka, saat kita memberanikan diri mengenal cinta, kita juga harus siap berkawan dengan luka dan air mata. Barangkali memang begitulah hukumnya. Ternyata hubungan yang terjalin manis dalam waktu yang lama dapat hancur dalam beberapa saat saja. 

Terakhir kali kita bertemu, sunyi seakan merasuk ke dalam diri kita masing-masing. Ia mengikat mulut kita dengan erat seolah-olah tak perlu ada kata lagi yang harus keluar, tak perlu ada kalimat lagi yang harus dirangkai. Bahkan genggam yang sudah terbiasa mewarnai hari-hari kita selama ini menjadi amat canggung karena yang mengalir di dalamnya bukan lagi cerita-cerita manis, tetapi secarik kenyataan yang membuat hatiku terasa seperti diiris-iris. Pedih. Kamu bukan lagi kamu. 

Dalam diam aku mengetuk banyak pertanyaan di dinding hati yang telah parah digores luka. Kemana perginya kata-kata indah yang biasanya kamu lontarkan kepadaku setiap kali kita bertemu? Menghilang kemana kehangatan yang selama ini ada di dalam setiap tatapanmu kepadaku? 

Aku serupa kertas yang kamu remas sesuka hatimu setelah kamu tulisi lembaran hatiku dengan kisah-kisah kita yang pernah bahagia. Kapan aku akan menjadi kertas yang baru lagi, aku pun tidak tahu. Aku pernah teramat bahagia hanya dengan melihat wajahmu, pun harus merasakan kecewa yang teramat sangat seperti sekarang.

Ada banyak hal yang bisa kita terima dalam sebuah hubungan dan lambat laun kita pasti akan terbiasa melewati rintangan yang berusaha menjerat langkah-langkah kita. Namun, untuk sebuah pengkhianatan, aku tak pernah bisa menerima dan tak akan pernah terbiasa. 

Kita bukan lagi melewati rintangan bersama-sama. Kamu membiarkanku terperosok sendirian di dalam lubang yang sengaja kamu gali. Kamu membiarkan kakiku terluka karena duri yang kamu tebar di dalam iringan langkah. Dan aku baru sadar, tanpa sepengetahuanku, sebenarnya kamu sedang membuat jalan baru bersama orang lain. 

Barangkali aku yang terlalu naif, menganggap sebuah hubungan yang dijalani akan baik-baik saja jika dilandasi dengan percaya. Barangkali hanya aku saja yang beranggapan seperti itu tetapi kamu tidak. Aku menjaga percayamu dengan baik-baik di dalam hati. Kamu merobek percayaku dengan sepenuh hati.

Genggam tak akan tercipta lagi untuk kesekian kali. Lepaskanlah tanganmu yang masih menggenggam jemariku, sebab hanya akan membuat luka di hati semakin merobek berdarah. Aku tidak akan baik-baik saja dengan semua ini, tetapi bukan berarti aku meminta kamu kembali lagi kepadaku. Aku akan menyampaikan salam pisah dan semoga saja yang kau lihat kali terakhir ini adalah senyum yang menggelayut di wajah. 

Aku tidak akan menangis karena hatiku sudah puas menitikkan tetesan darahnya, tak perlu lagi kamu lihat air mataku mengalir karenamu. Aku melihat setitik penyesalan di wajahmu. Hanya setitik. Barangkali hatimu memang sudah mantap untuk berpindah, sementara hatiku harus merasakan sakit yang tak sudah-sudah. 

Tak apa, mungkin memang beginilah jalannya. Khianat yang kamu taruh di dalam genggam takkan dapat dengan mudah kulupakan karena terlalu membekas sakitnya di ingatan. Semoga tak ada lagi pengkhianatan yang kamu buat dalam genggaman yang dia berikan nantinya kepadamu. Dan sekarang, aku akanmemeluk sendirian tetes-tetes yang sedari tadi dengan susah payah kutahan.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandika #2 Sembunyi Tetes

Aku Ada