Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2020

Cerpen #3 Lala & Lala

Gambar
Seorang gadis kecil berlesung pipit sedang menatap jalanan di luar lewat jendela kayu yang terbuka lebar, hujan turun membasahi bumi malam itu dengan amat lebat. Kilat sibuk memotret bumi dari atas sana dengan cahayanya yang diikuti suara guntur yang saling bersahutan.  Ia tetap tegak di jendela kayu tanpa rasa takut terhadap suara guntur yang menggelegar, tangan kirinya menggenggam sebuah buku bersampul hijau yang amat berharga baginya sekarang. Di sampul buku itu terdapat tulisan “Kado untuk Lala”, dari tadi dia menunggu orang yang membuat tulisan itu, orang yang selalu memberikannya kado sebelum tiga hari peringatan ulang tahunnya.  Malam merambat amat cepat, gelap menelan terang dengan anggun. Seorang perempuan paruh baya menghampiri gadis kecil yang dari tadi tak bisa dibujuk untuk meninggalkan tempat itu.  “Nak, ayo tidur, kamu harus istirahat,” ajaknya lembut seraya mengelus rambut ikal sebahu anak itu. Gadis kecil menepis tangan ramah wanita paruh baya itu, sambil b

Senandika #5 Menyesap Rindu

Gambar
PoV Puan Semenjak kepergianmu, aku jadi terbiasa menjamu rindu di meja pagi. Sendirian. Menyesap rindu diam-diam.  Ada banyak cerita yang ingin kujamu di meja pagi jika seandainya kamu masih berada di sini, di sisiku. Cerita tentang aku yang berusaha dengan tabah melewati hari dengan tunggu meski tahu kamu tidak akan pernah lagi melangkah pulang untuk menemuiku. Meski tahu bahwa kamu tidak akan pernah lagi datang walau hanya sekadar bayang.  Namun, dengan teguh, aku rela berlama-lama memandang ke luar jendela. Berharap ada kamu yang melangkah dari halaman rumah sehabis bekerja.  Aku dengan sungguh masih saja memasang telinga tajam-tajam. Menempelkan seiris demi seiris pendengaranku di tiap-tiap dinding rumah, di tiap-tiap perabotan dan semua benda yang ada di sekelilingku, berharap bisa mendengar suaramu meski hanya sekadar mengucapkan satu kata. Meski kamu hanya mampu bersuara dengan lemah dan sayup. Sejak kamu pergi, aku seakan-akan kehilangan arah. Bingung untuk me

Senandika #4 Kita sedang (tidak) Bertemu

Gambar
PoV Tuan Sudah hampir satu jam kita duduk saling berseberangan. Aku sudah memesan makanan dan minuman untuk kita sebelum kamu datang. Aku sengaja datang lebih awal dari waktu yang telah kita tentukan. Lucunya, aku memesan makanan dan minuman dengan senyum yang tak henti-henti membias di wajah.  Aku membayangkan apakah seleramu masih sama seperti lima tahun yang lalu atau sudah berubah karena lidahmu sudah terbiasa dengan makanan Eropa. Aku sibuk membayangkan reaksimu nanti saat pertama kalinya melihatku. Berteriak kegirangan. Lalu, mencecarku dengan banyak pertanyaan tentang apa saja yang sudah terjadi pada diriku dalam lima tahun ini. Kamu periang.  Kamu bukan wanita yang menunggu seseorang untuk menanyakan kabarmu terlebih dahulu. Kamu spontan. Reaksi itu yang tertanam di pikiranku karena kita sudah sekian lama tidak bertemu. Lalu, bagaimana seharusnya aku saat melihatmu nanti? Apakah aku harus berteriak kegirangan juga, atau aku harus terpana karena melihat perubahan

Cerpen #2 Awan

Gambar
Nun jauh di sana, di pinggir hutan terdapatlah perkampungan yang amat sederhana. Rumah penduduk dibangun dari potongan bambu dan beratap rumbia. Kebutuhan pangan selalu terpenuhi di perkampungan itu, tanah yang amat subur selalu memberikan hasil panen terbaik setiap tahunnya. Para penduduk perkampungan itu adalah orang-orang yang selalu melewati hari dengan gembira, canda tawa selalu terdengar di mana-mana. Kalau kau berada di sana, kau akan merasa bahwa hidup hanyalah terdiri dari kegembiraan. Namun sebenarnya, di dalam sikap-sikap ramah itu, di balik kegembiraan dan canda tawa itu, mereka memiliki satu cacat dalam diri mereka masing-masing. Cacat yang entah bagai mana tumbuh di tengah-tengah canda tawa. Cacat yang kadang tersisip dalam tegur sapa. Cacat yang selalu mengikuti dalam segala aktivitas perkampungan itu.  Mereka, membenci seseorang. Mereka, mengucilkan seseorang. Namanya Awan, umurnya sembilan. Dia tinggal di rumah bambu yang terletak paling ujung. Awan tida

Untuk Puan

Gambar
Akhirnya puan, telah sampailah kita di penghujung jalan itu. Tempat kita pernah menyerakkan beribu-ribu kenangan.  Tempat bermunculan satu persatu kenangan bahagia yang akhirnya harus tenggelam dalam perpisahan.  Benar,  puan,  seperti lelucon yang pernah kita tertawakan dahulu bahwa mustahil kita saling tega menebalkan dinding pisah dan berbalik melangkah menjauhi segala cerita. Benar, puan, seperti yang pernah berbisik riuh di telinga, mustahil sebuah hubungan tak berkawan dengan prasangka. Puan, pada akhir perjalanan yang kita tapak bersama, betapa menyesakkan melihat dan mendengar potongan cerita kita di sepanjang jalan ini, sebelum akhirnya berhenti dengan sesenggukan yang tak lagi kita sesap bersama. Selamat berpisah, puan, semoga tak ada lagi sedih menggelayut hari-harimu kelak, pun duka di hari esok biar ku menanggung segala-galanya. Gambar: Pixabay.com

Senandika #3 Ego

PoV Tuan Kita adalah dua orang yang pernah memaksa untuk menapaki jalan yang sama, padahal kita masing-masing sadar bahwa kita memiliki banyak perbedaan yang tidak mungkin bisa disatukan. Kamu memintaku untuk meniti hari dengan caramu sendiri. Aku mencintaimu, jadi kulakukan saja seperti maumu karena aku pikir seiring berjalannya waktu, kamu akan berubah, kamu akan mendengarkanku suatu saat nanti.  Aku mencintaimu dengan sungguh dan barangkali selama ini kamu tak pernah sungguh-sungguh mencintaiku. Barangkali, kata-kata cinta yang kamu agung-agungkan hanyalah topeng dari egomu sendiri. Kamu merasa, seseorang yang mencintaimu adalah milikmu seutuhnya. Orang itu harus mendengarkan dan melakukan segala perkataanmu hanya karena dia mencintaimu. Barangkali kamu lupa, dia juga memiliki bagian hidupnya yang harus dihabiskan dengan orang-orang yang dia sayang.  Orang yang dia cintai dan dia sayangi bukan kamu sendiri saja. Dia memang mencintaimu dengan sangat, tetapi ada beberapa orang y