Senandika #4 Kita sedang (tidak) Bertemu
PoV Tuan
Sudah hampir satu jam kita duduk saling berseberangan. Aku sudah memesan makanan dan minuman untuk kita sebelum kamu datang. Aku sengaja datang lebih awal dari waktu yang telah kita tentukan. Lucunya, aku memesan makanan dan minuman dengan senyum yang tak henti-henti membias di wajah.
Aku membayangkan apakah seleramu masih sama seperti lima tahun yang lalu atau sudah berubah karena lidahmu sudah terbiasa dengan makanan Eropa. Aku sibuk membayangkan reaksimu nanti saat pertama kalinya melihatku. Berteriak kegirangan. Lalu, mencecarku dengan banyak pertanyaan tentang apa saja yang sudah terjadi pada diriku dalam lima tahun ini. Kamu periang.
Kamu bukan wanita yang menunggu seseorang untuk menanyakan kabarmu terlebih dahulu. Kamu spontan. Reaksi itu yang tertanam di pikiranku karena kita sudah sekian lama tidak bertemu. Lalu, bagaimana seharusnya aku saat melihatmu nanti? Apakah aku harus berteriak kegirangan juga, atau aku harus terpana karena melihat perubahanmu yang pasti terlihat semakin memesona? Atau aku harus menyambutmu dengan berlagak kalem agar telihat keren? Tiba-tiba, aku sangat memikirkan sekali sebuah reaksi hanya karena melihat seseorang yang sudah lima tahun tidak bisa ditatap karena jarak memisahkan.
Sudah hampir satu jam, kita masih duduk berseberangan. Tadi, ketika kamu datang menghampiriku, aku menyembunyikan keterpanaanku saat melihatmu. Kamu benar-benar merubah tampilanmu.
Dulu, kamu biarkan rambutmu memanjang hingga hampir menyentuh pinggangmu. Sekarang, kamu memotongnya hingga tinggal sebahumu. Bahkan, rambutmu yang dulu hitam legam, sekarang kamu padu dengan warna pirang. Barangkali hal itu kamu lakukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalmu di luar negeri sana, mengingat perempuan di sana juga kebanyakan berambut pirang.
Kamu begitu bersinar. Kehadiranmu seakan-akan memberikan cahaya baru di ruangan ini. Kamu tetap saja sama menawannya seperti dahulu. Matamu masih saja berbinar-binar menggambarkan betapa cemerlangnya otakmu sehingga kamu dengan amat mudah bisa menembus salah satu universitas ternama di luar negeri.
Kamu masih saja periang seperti dahulu. Kamu masih menyebut namaku dengan nada riang dan masih memelukku dengan longgar sambil sibuk bertanya hal menarik apa yang sudah terjadi kepadaku selama kita menjalani hari dan waktu dengan jarak ratusan ribu kilometer. Sifatmu tetap tidak ada yang berubah. Kamu tetap kamu yang aku kenal tak peduli berapa lama kita telah terpisah.
Sudah hampir satu jam. Kita menyesap minuman yang ada di atas meja. Kamu menceritakan banyak hal yang telah kamu lewati selama berada di luar negeri. Kamu menceritakan tentang bagaimana kamu sibuk berdebat dengan para dosenmu membahas banyak hal yang kurang sependapat dengan pemahamanmu.
Kamu tidak berubah. Kamu masih saja dengan amat mudah melampaui pemahaman seseorang terhadap sesuatu hal. Barangkali, kamu dilahirkan memang untuk melakukan banyak perdebatan dengan orang-orang. Tetapi kamu menikmatinya dengan baik. Tidak membuatmu sesumbar dan besar kepala hanya karena kamu memiliki pikiran yang terlalu cemerlang. Kamu menceritakan tentang hubunganmu dengan tetanggamu yang berjalan begitu baik. Tidak mengherankan, kamu adalah orang yang dengan mudah bisa berbaur dengan orang baru.
Sudah hampir satu jam kita di sini. Aku menceritakan hari-hari yang telah kulalui selama lima tahun ini. Aku bilang kepadamu bahwa aku masih sama seperti dulu. Bahkan, kamu setuju dengan pernyataanku itu, karena penampilanku tak jauh berbeda. Hanya saja, aku mengenakan kacamata sekarang karena mataku bermasalah.
Aku masih melakukan rutinitas seperti dulu, meski tak bisa kulakukan setiap hari karena pekerjaanku sekarang. Aku masih mengunjungi perpustakaan kota, tempat kita pernah menghabiskan waktu bersama. Aku masih membeli kembang harum manis saat menyusuri taman kota seperti yang pernah kita lakukan dulu.
Aku masih suka menulis seperti yang kulakukan dulu, dan kamu adalah orang pertama yang membaca tulisan-tulisanku. Sekarang, aku membiarkan tulisanku dibaca oleh semua orang. Aku menceritakan segalanya yang perlu kuceritakan kepadamu. Meski ada sesuatu hal, yang untuk sementara ini ingin kusimpan sendiri.
Melihatmu berdecak kagum mendengar ceritaku adalah kebahagiaan tersendiri, meski aku meledakkan bahagia itu sendirian di dalam hati dan tetap berusaha menahan rautku seperti seseorang yang sudah amat terbiasa sehingga pujian darimu tak tampak terlalu istimewa.
Kamu sibuk bertanya-tanya bagaimana bisa aku tetap melakukan kebiasaan seperti dulu tanpa banyak perubahan yang berarti. Aku jawab, barangkali aku sudah terlalu terbiasa melakukannya dalam waktu yang cukup lama. Kita mengobrol banyak hal setelah sekian lama waktu melemparkan kita ke arah yang berbeda. Pembicaraan ini menyenangkan.
Aku mengajakmu untuk kembali mengulangi hari seperti dulu, sekadar mengenang kembali bagaimana ajaibnya waktu yang pernah membuat kita tumbuh bersama-sama. Kamu mengangguk setuju. Bola matamu memantulkan manik-manik cahayanya tanda kamu sangat besemangat untuk mengulangi beberapa kisah kita yang pernah tercatat di dinding waktu. Begitupun denganku, tak ada yang lebih membuatku bahagia selain bisa membuatmu bahagia seperti sekarang.
Kita benar-benar mengulangi hari seperti belasan tahun lalu. Aku mengajakmu ke perpustakaan yang sering kita kunjungi dulu. Kita berlama-lama membaca beberapa buku. Kamu tampak menikmati bacaanmu sehingga tak menyadari bahwa aku sedari tadi tak bisa memfokuskan diri karena aku hanya ingin melihat kamu.
Kita menyusuri taman kota ketika malam mulai merajai hari. Kita membeli kembang harum manis seperti yang pernah kita lakukan. Mengabaikan orang-orang yang melihat kita seperti orang gila karena dua orang yang telah dewasa membeli banyak kembang harum manis dengan amat histeris, seperti tidak pernah menjumpai jajanan itu sebelumnya. Padahal, kita hanya terlalu bergembira bisa kembali mengulangi ini semua.
Nama seseorang muncul di layar telepon genggammu. Kamu bahkan tersenyum kecil dan sepertinya seseorang itu sangat berarti bagimu. Seseorang yang suaranya amat ditunggu untuk didengar. Kamu bilang seseorang itu adalah pilihanmu untuk bersama-sama meniti hari nanti. Kalian berencana menikah dalam waktu dekat. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Berpura-pura bahagia dengan kabar yang tak pernah kukira akan kudengar.
Aku yang salah, tidak menanyakan apakah kamu sudah menjalin hubungan spesial dengan seseorang. Padahal, sebentar lagi, aku ingin memberikan kejutan kepadamu dan mengungkapkan bagaimana perasaanku telah tumbuh dan berkembang terlalu hebat terhadapmu. Kamu tidak berubah. Aku yang berubah. Perasaanku terhadapmu. Aku sudah menyiapkan semuanya. Bahkan, aku merencanakannya jauh-jauh hari sebelum kamu mengabarkan akan kembali ke negeri ini.
Mungkin, cerita-cerita yang belum sempat kubagikan bersamamu memang harus kusimpan sendiri. Aku yang masih saja menyempatkan diri untuk mengulang hari seperti saat bersamamu dulu karena aku menyadari bahwa aku sebenarnya telah menyerahkan hatiku kepadamu tanpa sepengetahuan diriku sendiri. Bahkan dengan bodoh, aku merajam diri dengan pecutan rindu yang dibuat oleh hatiku sendiri.
Aku akan membuat diriku biasa-biasa saja dengan luka yang kubuat sendiri. Kamu tidak salah. Aku tidak berhak menjauh darimu hanya karena aku diam-diam memilihmu sedangkan kamu telah memilih orang lain sebelum aku sempat mengungkapkannya kepadamu. Barangkali memang sudah takdirku agar tak menganggap hubungan yang kita jalani lebih dari kata sahabat. Dan barangkali, memang inilah yang terbaik.
***
Komentar
Posting Komentar