Senandika #5 Menyesap Rindu
PoV Puan
Semenjak kepergianmu, aku jadi terbiasa menjamu rindu di meja pagi. Sendirian. Menyesap rindu diam-diam.
Ada banyak cerita yang ingin kujamu di meja pagi jika seandainya kamu masih berada di sini, di sisiku. Cerita tentang aku yang berusaha dengan tabah melewati hari dengan tunggu meski tahu kamu tidak akan pernah lagi melangkah pulang untuk menemuiku. Meski tahu bahwa kamu tidak akan pernah lagi datang walau hanya sekadar bayang.
Namun, dengan teguh, aku rela berlama-lama memandang ke luar jendela. Berharap ada kamu yang melangkah dari halaman rumah sehabis bekerja.
Aku dengan sungguh masih saja memasang telinga tajam-tajam. Menempelkan seiris demi seiris pendengaranku di tiap-tiap dinding rumah, di tiap-tiap perabotan dan semua benda yang ada di sekelilingku, berharap bisa mendengar suaramu meski hanya sekadar mengucapkan satu kata. Meski kamu hanya mampu bersuara dengan lemah dan sayup.
Sejak kamu pergi, aku seakan-akan kehilangan arah. Bingung untuk melanjutkan hidup karena selama ini kamu telah menjadi seseorang yang menuntun tanganku saat aku meredup. Namun, sekarang kamu lenyap di dalam senyap.
Aku masih saja mencarimu dengan meraba-raba. Menerka-nerka di mana sebenarnya kamu berada. Meski tahu, dimanapun kamu sekarang, jawabannya tetap saja sama: kamu sudah pergi jauh melangkah. Meninggalkan aku yang menggugu sendirian dan tak satupun kudengar kamu melirihkan perpisahan.
Pernah kubiarkan diri merutuk dan meratapi kepergianmu yang tak pernah kukehendaki. Menyalahkan takdir yang tak mau berkompromi dan hanya menyisakan getir. Aku pernah menyalahkan diriku sendiri karena aku tak bisa menjagamu dengan baik seperti kamu yang sebisa mungkin menjagaku dari banyak kemungkinan terburuk.
Kepergianmu membuatku seolah-olah kehilangan sebuah cahaya yang selama ini menerangiku. Cahaya yang selama ini tak pernah meninggalkanku merangkak sendirian di dalam gelap. Cahaya itu adalah kamu.
Masih membayang di benakku saat kita masih bersama-sama menyesap pagi. Menjamu cinta dan kata-kata mesra di meja pagi untuk kita cicip berlama-lama sampai pagi pamit meninggalkan hari. Menyesap pagi sambil bersandar di pundakmu adalah hal yang sekarang menjadi rindu.
Aku sudah terlalu candu dengan kehadiranmu. Sudah terbiasa menatapmu berlama-lama.
Ketika kamu pergi, dengan susah payah aku mencoba melepaskan canduku terhadapmu. Namun, tak bisa kulakukan, kamu sudah terlalu mengakar sampai-sampai aku tak tahu lagi bagaimana caranya agar semua tentang kamu bisa tercerabut sampai tak membekas.
Pada setiap waktu yang berlalu, aku hanya ingin melihatmu. Aku pernah tak ingin terpejam sedetikpun meski mataku berkali-kali mengadu lelah. Sebab, saat aku tak terjaga, boleh jadi kamu diam-diam datang sambil menjinjit kaki agar kehadiranmu tak kusadari, lalu pergi sebelum aku sempat membuka mata.
Aku pernah mencarimu di tempat-tempat yang pernah kita kunjungi berdua. Berharap kamu sedang menungguku di sana dengan senyummu yang menular seperti biasa. Aku tak menemukan dirimu yang ingin kudekap dengan penuh rindu.
Bahkan, ketika aku tak bisa melihatmu, hatiku sempat merangkai harap bahwa kamu sedang menyiapkan sebuah kejutan yang amat istimewa untukku. Kamu akan datang dari arah belakang dan mendekapku dengan erat sambil mendaratkan kecupanmu di kepalaku.
Aku sibuk merapal harap. Berkali-kali. Padahal, kamu takkan pernah lagi bisa mendekapku dengan hangat seperti dulu. Kamu tak bisa lagi karena kamu sudah pergi.
Aku bahkan mendatangi orang-orang yang mengatakan kepergianmu. Aku sempat berteriak mengatakan bahwa apa yang mereka katakan adalah suatu kebohongan. Kamu tidak pernah pergi tanpa mengatakannya secara langsung kepadaku.
Selama ini, kamu tidak memerlukan orang lain untuk mengatakan kepergianmu karena kamu selalu mengatakannya sendiri kepadaku. Mereka mungkin berbohong. Kamu tidak mungkin pergi secepat ini. kamu tidak mungkin tidak menepati janji-janji yang telah kamu ucapkan kepadaku.
Kamu tidak mungkin pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku bahkan memohon kepada mereka untuk mengatakan bahwa kamu sebenarnya tidak benar-benar pergi. Kamu hanya sedang berangkat untuk menyelesaikan pekerjaanmu. Kamu hanya sedang pergi sebentar, kemudian kembali untuk menggenggam tanganku lagi.
Aku benar-benar merindukanmu sampai-sampai aku tak ingin melakukan apapun selain melihat, menatap dan mendengarmu. Aku benar-benar rindu.
Pagi mulai beranjak, sayang. Rindu yang kusesap tak membuatnya habis. Malah, rindu semakin meluap-luap memenuhi gelas hatiku. Aku tak akan lagi menunggumu pulang, juga tak akan membiarkan diriku mencari-cari dirimu lagi semenjak kepergianmu.
Aku akan membiarkan diriku terbiasa melanjutkan hidup tanpa kamu lagi. Aku akan merelakan dirimu pergi dan membiarkan semua kenangan tentangmu menghampiriku.
Aku akan berusaha berdamai dengan kisah-kisah kita yang pernah terajut begitu manis. Dulu, aku pikir kenangan tentangmu hanya bisa kunikmati dengan linangan air mata. Namun, ternyata aku salah. Aku masih bisa mengingatmu dengan bahagia. Bahkan terkadang, aku tersenyum kecil saat tak sengaja, aku mengulangi kebiasaan kita.
Entah kapanpun itu, saat aku datang menemuimu nanti, tetaplah di tempatmu. Jangan berlari ke arahku untuk mendekapku seperti yang biasa kamu lakukan. Suatu saat nanti, di alam baru, biarkan saja aku yang berlari ke arahmu. Biarkan aku saja yang menghampirimu dan memelukmu.
Komentar
Posting Komentar